Baru-baru ini, publik Tanah Air sempat heboh akibat keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memblokir akses ke Telegram versi situs web. Keputusan itu pun ditolak keras banyak pengguna Telegram.
Kemkominfo beralasan pemblokiran itu dilakukan karena banyak konten bermuatan negatif yang wara-wiri di platform tersebut, terutama terorisme dan radikalisme. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menyebut ada belasan ribu halaman terorisme di aplikasi asal Rusia tersebut.
Lantas, benarkah klaim tersebut? Dalam banyak kasus, tak dimungkiri Telegram merupakan aplikasi favorit sejumlah kelompok teroris. Salah satu yang diketahui menjadi pengguna setia Telegram adalah ISIS.
ISIS diketahui kerap menggunakan Telegram sebagai sarana propaganda sekaligus sumber informasi mengenai klaim serangan yang telah dilakukan. Serangan terkini yang diklaim ISIS dan diketahui dari Telegram adalah serangan ke Manchester, Inggris, beberapa bulan lalu.
Lalu, apa yang membuat Telegram menjadi media pilihan kelompok tersebut? Profesor dari Universitas Haifa dan juga penulis soal aksi teroris online, Gabriel Weimann, menyebut Telegram mengisi kekosongan sarana propaganda dan komunikasi kelompok teroris setelah Facebook dan Twitter rajin melakukan pembersihan.
Sebagai informasi dalam beberapa tahun terakhir, Twitter dan Facebook telah melakukan banyak penutupan akun yang disinyalir berafiliasi dengan kelompok teroris. Sejak 2015, sejumlah analis memang menyebut ada eksodus besar-besaran kelompok teroris yang menggunakan Telegram.
Aplikasi ini dikenal sudah menggunakan metode end-to-end encryption, jauh sebelum aplikasi serupa menerapkan kemampuan tersebut. Selain itu, aplikasi ini menawarkan fitur self-destructing messagesyang membuatnya makin aman. Fitur itu juga berlaku saat percakapan personal atau dalam group chat.
Kemampuan yang ditanamkan Telegram sebenarnya memang lumrah karena Pavel Durov mengembangkan aplikasi ini untuk mencegah badan keamanan Rusia mengakses komunikasi yang dilakukan antar pengguna.
Karenanya, Durov menegaskan tak akan pernah memberikan akses backdoor ke Telegram meski diminta oleh pemerintah. Ia beralasan, banyak pengguna Telegram memakai layanannya untuk keperluan yang sah dan menutup aplikasi ini tak menjamin kelompok teroris berhenti berkomunikasi.
Kendati demikian, bukan berarti Telegram tak melakukan pemblokiran terhadap akun yang dianggap berhubungan dengan kelompok teroris. Sejak serangan di Paris pada November 2015, layanan Telegram telah menutup ratusan akun yang dinilai bermasalah.
Namun upaya itu memang masih kalah jauh ketimbang Twitter. Situs microblogging itu sudah menutup 360 ribu akun yang mempromosikan terorisme sejak pertengahan 2015. Bagaimana menurutmu, apakah pemblokiran Telegram merupakan solusi?
Dikutip dari : liputan6.com
Komentar
Posting Komentar